Esther's Point of View: Perempuan, Wajah Allah dalam Perjuangan
"Aku adalah bukti bahwa Allah memilih orang-orang biasa untuk melakukan perkara luar biasa".
(Ratu Ester)
Aku, Ester. Perempuan yatim piatu dari bangsa yang dipandang rendah. Sejak kecil, aku belajar hidup dalam bayang-bayang kehilangan. Pamanku Mordekhai adalah pelita kecil yang menerangi masa depanku, tetapi siapa sangka tangan Tuhan menuntunku jauh melampaui apa yang pernah kubayangkan?
Istana adalah dunia yang asing bagiku, megah, tetapi sunyi. Aku diangkat menjadi ratu, namun di balik jubah kebesaran ini, aku tetap perempuan biasa yang harus menyembunyikan siapa diriku sebenarnya. Setiap langkahku di lorong-lorong istana adalah pergumulan: memilih diam demi kenyamanan, atau bersuara dan menghadapi risiko yang bisa merenggut nyawaku.
Ketika kudengar rencana pembantaian bangsa kami, hatiku bergetar. Aku takut. Aku ingin percaya bahwa aku aman di istana, tapi Mordekhai membuka mataku dengan kata-katanya: “Jika engkau berdiam diri pada saat ini, maka pertolongan dan kelepasan bagi orang Yahudi akan datang dari pihak lain, tetapi engkau dan keluargamu akan binasa.” Kata-kata itu menusuk jiwaku. Bagaimana mungkin aku memilih diam ketika bangsaku berteriak meminta keadilan?
Aku berpuasa, menangis dalam sepi, dan bertanya pada Tuhan: Mengapa aku? Apakah aku cukup berharga untuk dipakai dalam rencana-Mu? Dalam gelapnya malam, aku menemukan jawaban di hatiku: keberanian bukan berarti tidak ada ketakutan, tetapi melangkah meski hati gemetar.
Aku masuk ke ruang takhta dengan langkah gontai, tetapi hatiku teguh. Jika aku harus mati, biarlah aku mati. Tuhan menyertaiku. Aku bukan hanya ratu di mata manusia, tetapi pelayan Allah yang dipakai untuk menyelamatkan bangsaku.
Kini aku mengerti. Kadang, Tuhan menempatkan kita di posisi yang tidak nyaman agar kita menjadi suara bagi mereka yang tidak didengar. Perempuan bukan sekadar pelengkap dalam sejarah, tetapi kekuatan yang mampu mengubah arah kehidupan. Aku menyadari bahwa dunia sering kali membungkam suara perempuan, seolah-olah keberanian hanya milik kaum laki-laki. Namun, Tuhan menunjukkan bahwa perempuan juga dipanggil untuk melawan ketidakadilan dan membawa kelepasan bagi sesama.
Aku belajar bahwa diam di hadapan ketidakadilan adalah bentuk kejahatan. Perempuan bukan hanya penonton dalam sejarah, tetapi pembawa perubahan. Jika aku, seorang perempuan yatim piatu, mampu bersuara, maka setiap perempuan pun memiliki kekuatan untuk berbicara melawan penindasan dan memperjuangkan kehidupan.
Aku, Ester, bukan hanya mahkota di kepala. Aku adalah keberanian yang lahir dari doa. Aku adalah suara bagi yang tertindas. Aku adalah bukti bahwa Allah memilih orang-orang biasa untuk melakukan perkara luar biasa. Aku adalah wajah perempuan yang melawan ketidakadilan, membuktikan bahwa keberanian tidak mengenal gender.
Komentar
Posting Komentar