Cerita di Balik Mimbar: Sarah, Saya, dan Kursi Hakim

“Kalau Tuhan sabar menghadapi Sarah yang tertawa sinis, siapa saya sampai tega menghakimi orang lain tanpa mendengar ceritanya?”

- Amelia Theodora Salawe



Ada satu pengalaman yang sampai sekarang masih saya ingat dengan jelas. Waktu itu saya merasa sangat benar. Ada seorang teman yang menurut saya sudah salah besar. Waktu itu beberapa kata yang muncul dalam pikiran saya, dia berdosa, dia salah, dia keliru, dan sudah sepantasnya dia ditegur. Jadi tindakan yang saya ambil saat itu adalah saya menutup telinga dari penjelasan orang-orang yang mengajak saya melihat dari sisi lainnya. Saya bahkan memilih untuk tidak mau menghubunginya. Saya menghakimi. Saya marah. Rasanya seperti saya duduk di kursi hakim, sementara dia di kursi terdakwa.

Tanpa rasa bersalah, saya melanjutkan hari-hari saya seperti biasa. Menariknya Tuhan punya cara sendiri untuk menegur saya, seperti yang biasa Ia lakukan tiap saya buat kekeliruan dalam hidup. Lewat khotbah yang saya susun, Kejadian 18:1-15. Seperti biasa lima atau empat hari sebelum khotbah, saya terlebih dahulu membaca teksnya sekilas. I felt nothing.

Dua hari sebelum khotbah, saya mulai memerhatikan dan seperti biasa, menempatkan diri seakan-akan saya adalah salah satu tokoh di dalam teks Kejadian 18:1-15 (metode menulis khotbah yang diajarkan dosen Homiletika saya). Ini menariknya, ketika saya menempatkan diri saya sebagai Sarah. Saya terhenti. Saya tiba-tiba merasakan aliran darah naik ke kepala saya. Saya kesal. Bagaimana tidak kesal? Saya membayangkan Sarah tertawa sinis dan mengeluarkan kata-kata yang rasanya tidak sopan (seperti meremehkan) kepada Tuhan ketika ia mendengar kabar bahwa ia akan mengandung dan melahirkan anak. Tanpa sadar saya mengeluarkan kalimat: “Hm, kurang ajar! Kalau saya jadi Tuhan, sudah saya kutuk kamu, Sarah.” Itulah mengapa saya tidak jadi Tuhan. 

Kekesalan saya yang kedua, ketika saya menyadari bahwa Tuhan tidak marah dengan sikap Sarah yang kurang ajar itu. Tuhan malah menanggapi dengan sabar. Dia menegur, iya, tapi dengan lembut. Dan yang lebih kocak lagi: janji-Nya tetap diberikan. Bayangkan, saya tidak hanya kesal dengan Sarah tapi juga kepada Tuhan. Mau jadi apa hidup saya dengan kekesalan ini? Saya memilih menutup laptop dan Alkitab kemudian tidur, meskipun belum menemukan pokok Teologis apapun dari teks Kejadian 18:1-15. Keesokan harinya, saya coba mencari jurnal terkait kisah Sarah ini dan kembali menempatkan diri sebagai Sarah serta mencoba melihat penderitaan Sarah dari sudut pandang Tuhan.

Saat itu saya merasa tertusuk. Rasanya teks tersebut seperti menatap saya balik dan bilang, “Nah loh, Tuhan beda kan dengan kamu? Bukankah kamu cepat sekali menghakimi? Bahkan Sarah dan Tuhan pun sudah kau hakimi, Mel. Mau ajarkan apa kamu besok kepada jemaat dalam ibadah, Mel?” Saya kaget bahkan malu. Saya merasa lebih keras daripada Allah sendiri padahal saya bukan Allah. Bagaimana bisa saya lebih cepat menghukum, padahal Allah saja memilih untuk mendengarkan dan bersabar?

Setelah saya baca kembali khotbah yang telah saya susun, saya menangis. Saya berdoa dan minta ampun ke Tuhan, karena saya menyadari bahwa sikap saya tidak mencerminkan kasih yang seharusnya. Kisah Sarah adalah cara Tuhan mengajarkan saya bahwa Dia bukanlah Allah yang cepat menghakimi, melainkan Allah yang sabar membentuk orang-orang seperti Sarah dan juga saya. Sebelum saya mengkhotbahkan di mimbar gereja, saya memberanikan diri menghubungi teman yang saya kasihi. Meskipun tidak banyak hal yang kami bicarakan tapi saya menyadari betapa berat beban yang ia pikul. Hidupnya penuh dengan luka, tekanan, dan kesulitan yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Ternyata selama ini saya hanya sibuk menilai dia dari luar, tanpa mengetahui jalan seperti apa yang dia lalui.

Dari pengalaman itu, saya memahami sesuatu yang sangat sederhana, tapi sulit dipraktikkan: menghakimi itu gampang. Bahkan tanpa sadar kita sering melakukannya setiap hari. Tapi mendengarkan dengan hati? Itu jauh lebih sulit. Butuh kerendahan hati, butuh waktu, butuh telinga yang mau sabar menampung cerita orang lain. Namun justru di situlah kasih diuji. Kalau Tuhan begitu sabar menghadapi Sarah yang tertawa sinis, kalau Tuhan tidak menutup telinga-Nya terhadap kita yang sering salah, siapa saya sampai tega menghakimi orang lain tanpa mendengar ceritanya?

Sejak saat itu saya belajar sebelum buru-buru mengetuk “palu hakim” dalam hati, saya harus belajar duduk diam, membuka telinga, dan mendengar. Karena bisa jadi, lewat mendengar, saya bukan hanya menolong orang lain, tapi justru ditolong untuk semakin mengerti hati Tuhan sendiri yang penuh kasih.

Ini pengalaman iman yang kesekian kalinya, saya ditegur Tuhan bukan lewat khotbah orang lain, melainkan dari khotbah saya sendiri. Dan meskipun selalu ditegur lewat teks yang saya khotbahkan, saya tetap menyukai diri saya yang mau membuka diri untuk terus-menerus berdialog dengan teks dan dibentuk olehNya.

Komentar

Postingan Populer