Unggulan

Berhenti Berteologi?

"Kasih Allah itu luas, meruntuhkan tembok, menyapa yang tidak layak, membuka ruang bagi yang tersisih, dan mengampuni dengan cara yang tak terduga."

- Amelia Theodora Salawe


Dulu, dalam salah satu mata kuliah yang diampu oleh Pak Daniel K. Listyabudi, saya bilang ke teman saya bahwa kecenderungan orang-orang—yang dulunya belajar Teologi—kelabakan menghadapi realita ketika mereka harus terjun ke lapangan, bertemu dan bergumul dengan persoalan yang nyata di tengah-tengah jemaat. Karena selama ini mereka berteologi hanya di dalam kelas, mencatat, mengingat teori, dan sibuk merangkai kata. Teologi yang mereka pelajari pada akhirnya menjadi simbol-simbol tak bernyawa dari teks-teks yang mereka baca. Padahal Teologi bukan sekadar ungkapan atau huruf-huruf mati, melainkan cinta yang harus senantiasa dijalani. Cinta yang menyeberang dari teks menjadi tindakan, dari kata menjadi pelukan, dari lembaran-lembaran kertas menuju kehidupan.

Namun, di balik semua kerumitan itu, saya juga pernah merasakan betapa ruang-ruang kelas yang penuh catatan dan buku justru menjadi pintu pertama bagi saya untuk mengenal Allah yang penuh kasih. Di sana, di antara tumpukan jurnal dan ayat-ayat yang saya gumuli, saya terkagum. Kasih Allah itu luas, meruntuhkan tembok, menyapa yang tidak layak, membuka ruang bagi yang tersisih, dan mengampuni dengan cara yang tak terduga.

Tetapi ketika saya mulai hidup di tengah jemaat, saya mendapati sesuatu yang berbeda. Kasih Allah yang luas itu, yang saya temukan dalam teks dan pengalaman belajar, justru sering kali dipersempit oleh mereka yang merasa paling mengerti. Aturan didengungkan lebih nyaring daripada berita Injil. Palu penghakiman lebih mudah terangkat daripada tangan pengampunan. Mirisnya, dosa orang lain diumumkan dengan lantang dan terbuka, sedangkan dosa sendiri disembunyikan dan ditutup dengan rapat.

Inilah yang membuat saya takut.

Saya takut berhenti berteologi, saya takut berhenti berdialog dengan buku, pengalaman, dan juga teks-teks Alkitab. Saya takut menjadi sama, ikut membatasi kasih Allah hanya untuk mereka yang menurut saya pantas. Padahal saya pun, jika diukur, takkan pernah menemukan kata "layak". 

Maka saya terus mengingat perkataan itu: teologi bukan hanya tentang kata-kata, melainkan cinta yang bergerak, cinta yang mengalir dari teks ke dalam kehidupan. Di tengah rasa takut itu, saya hanya bisa bertanya: bagaimana denganmu, hai pencari kebenaran? Apakah kamu juga masih berani berteologi agar kasih yang luas itu tidak pernah berhenti mengalir?

Komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Masi karna banyak yg di dapat dari hal berteolog krna dri berbagai macam maslah yg di perhadapan tapi saya percaya dan yakin karna kasi Tuhan dan cinta nya yg tulus saya masi ada dan lewati berbagai masalah hingga saat ini itu karna kasi Tuhan 😇😘
    Semngat menulis kaka motivator terbaik ditunggu tulisan" Mu selanjutnya 😇

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer