Ketika Tuhan Duduk di Dapur dan Menyiram di Kebun: Cerita Mama-mama Jemaat Immanuel Tiga Saudara

"Ada pagi yang lebih suci dari ibadah Minggu. Pagi di mana asap dapur naik lebih dulu sebelum matahari dan suara sendok serta pisau mengalun seperti mazmur yang dinyanyikan dengan merdu. Di sanalah kita belajar bahwa Tuhan tidak selalu datang dalam nyanyian pujian, kadang Ia hadir dalam wajan yang menghitam dan di sudut dapur yang hangat."

- Amelia Theodora Salawe




Beberapa kali kita perhatikan mama-mama di jemaat Immanuel Tiga Saudara. Sebelum ayam bakokok, mama-mama ini so bangun. Ada yang masih sempat usap dorang pe mata dengan tangan kiri, sementara tangan kanan so harus bacapat kase hidup api.

Kita dengar suara kayu dipatahkan dan kemudian dorang susun supaya bisa kase manyala api. Tungku so mulai babunyi. Bau bawang deng arang bacampur jadi satu. Mama-mama pe muka belum sempat tersenyum tapi dorang pe tangan so sibuk mengiris, mengaduk, deng kase siap sarapan pagi untuk orang rumah.

Mama-mama pe tangan mungkin belum sepenuhnya beristirahat tapi so harus digerakkan lagi sebelum langit berubah jadi biru. Di dapur kecil yang penuh asap dan cinta, mama-mama ciptakan kehangatan. Tara ada mimbar memang, tapi kita bisa lihat bahwa ada kasih yang terus dorang nyalakan.

Kita tara dengar mama-mama ini bicara tentang pasal dan ayat dalam Alkitab. Tapi di setiap nasi yang dorang masak, di setiap kopi pahit dan teh yang dorang tuang, ada kesetiaan yang tara pernah dilatih, hanya dijalani.

Kita juga perhatikan, setelah dorang sibuk di dapur, mama-mama ini kemudian baganti baju. Dorang pake baju kerja yang depe warna so mulai pudar, dong ambe pacol, parang, cai paludi. Tanpa banyak kata, dorang bajalang palang-palang pi kobong. Kadang dorang pake dong pe sepatu kobong, kadang juga hanya dengan sandal jepit yang so mulai tipis, dan air minum dalam botol bekas yang diselipkan di kain lalu dorang taruh di paludi.

Di kobong, dorang tara hanya tanam kasbi, rica, goraka, batata, padi, dan tanaman lainnya. Tapi dorang juga tanam harapan. Dorang percaya bahwa tanah pun bisa melahirkan kehidupan. Walau kadang gagal panen, walau kadang hujan tara turun, mama-mama tetap bale di kobong karena begitu cara dorang beriman.

Kita percaya, Tuhan duduk diam di bangku dapur, tampa mama-mama mumasa. Tuhan seka dorang pe keringat dari wajah yang tara pernah minta pujian. Tuhan pegang dorang pe tangan yang pica-pica karena sabun cuci. Tuhan pun iko bajalang di antara semak dan akar dalam perjalanan pi kobong saat cuaca panas atau hujan.

Mama-mama tara pernah nae mimbar ataupun melayankan sakramen. Tapi dorang menyampaikan kotbah lewat setiap nasi yang dorang masak. Lewat setiap luka yang dorang bungkus diam-diam. Lewat setiap keringat yang jatuh tanpa keluhan.

Malaikat pun tahu, bahwa kadang hal yang paling suci itu tara berbau dupa. Tapi berbau bawang goreng. Kadang bukan di gereja megah torang bisa lihat Tuhan, tapi di dapur yang hidup oleh tangan-tangan yang penuh cinta.

Teologi bukan hanya soal kata. Teologi juga berbicara tentang tubuh yang bangun lebih pagi dari matahari. Soal tangan yang menghangatkan rumah dengan api dan kasih. Soal perempuan-perempuan kuat yang dikenal langit, meskipun dorang pe nama tara pernah disebut di buku pelajaran agama Kristen.

Saat kita lihat mama-mama, kita sadar bahwa kita juga so lihat dan berjumpa dengan Tuhan. Di dapur kayu yang sederhana, di kobong-kobong yang menanjak, di dalam hidup mama-mama yang so kase ajar pa kita cara mencintai tanpa suara.

Komentar

  1. Mama...😍😍😍❤️❤️❤️🙏🙏🙏
    Terbaik...💪💪

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer