Kejadian 45:1-15| Reuben's Point of View: Ketika Luka Lama Terbuka
"Aku mencoba menyelamatkanmu dulu, Yusuf, tapi aku tidak cukup berani. Hari ini, keberanianmu untuk mengampuni telah menyelamatkan kami semua."
(Reuben, the first son of Jacob)
Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Yusuf, sekarang aku tahu dia adalah Yusuf, menangis begitu keras. Suaranya menggema di seluruh ruangan, sampai orang-orang Mesir di luar istana mendengarnya. Tapi aku hanya bisa berdiri di situ, terdiam, terpaku oleh campuran rasa syok, takut, dan rasa bersalah yang tak tertahankan.
“Akulah Yusuf,” katanya, suaranya pecah di antara isak tangis. “Masih hidupkah ayah kita?”
Kata-kata itu menghantamku seperti petir. Yusuf. Dia benar-benar Yusuf. Aku tidak tahu harus merasa apa. Rasa takut menyelimutiku, karena aku tahu apa yang telah kami lakukan. Aku tahu dosa kami. Kami telah menjualnya sebagai budak, saudara kami sendiri, dan bertahun-tahun aku mencoba mengubur rasa bersalah itu. Tetapi sekarang, luka lama itu terbuka, dan aku merasa seperti tidak punya tempat untuk bersembunyi.
Aku mencoba membaca wajahnya, berharap menemukan kemarahan di sana. Tapi tidak ada. Yusuf hanya menangis. Dan dalam tangisannya, aku melihat sesuatu yang lebih besar dari rasa sakit: kasih.
Aku ingin berbicara, ingin mengatakan sesuatu untuk membela diri. Tapi apa yang bisa kukatakan? Aku adalah saudara tertua. Aku seharusnya melindungi Yusuf. Aku seharusnya menghentikan semuanya. Aku memang mencoba menyelamatkannya dari kematian, tapi aku tidak cukup berani untuk melawan saudara-saudaraku yang lain. Sebaliknya, aku memilih jalan setengah hati menyuruh mereka menjualnya, bukan membunuhnya. Dan selama bertahun-tahun, keputusan itu menghantui setiap langkahku.
Sekarang, di hadapannya, semua itu kembali. Semua rasa bersalah, semua penyesalan. Tapi Yusuf… dia tidak membalas dendam. Dia tidak menyalahkan kami. Sebaliknya, dia berkata bahwa semua ini adalah rencana Allah.
Aku tidak tahu bagaimana seseorang bisa memiliki hati seperti itu. Hati yang mampu mengampuni, bahkan setelah dikhianati oleh saudara-saudaranya sendiri. Tapi itulah Yusuf. Dan melalui kasihnya, aku melihat Allah bekerja.
Saat Yusuf memeluk Benyamin, aku merasa seperti seseorang sedang memegang cermin di hadapanku, memperlihatkan betapa kecilnya aku dibandingkan kasih dan pengampunan Yusuf. Aku ingin berlutut di depannya, meminta maaf untuk semua yang telah kulakukan. Tapi aku tahu, bahkan sebelum aku meminta maaf, Yusuf sudah mengampuni.
Air mata mengalir di wajahku. Bukan karena aku takut, tetapi karena aku merasa lega. Beban yang selama ini kupikul, beban rasa bersalah dan penyesalan akhirnya terangkat. Kasih Yusuf adalah bukti bahwa Allah masih bekerja, bahkan melalui dosa dan kesalahan kami.
Dalam momen itu, aku belajar bahwa pengampunan lebih kuat dari dendam, dan kasih lebih besar dari rasa bersalah. Yusuf telah mengajarkan aku, dan seluruh keluargaku, bahwa Allah dapat memulihkan apa yang sudah rusak, bahkan jika kerusakan itu disebabkan oleh tangan kita sendiri.
Komentar
Posting Komentar