Yesaya 64:1-9| You are The Potter and I am the clay

"Have Thine own way Lord
Have Thine own way
Thou art the potter I am the clay
Mold me and make me after Thy will
While I am waiting yielded and still..."

Have Thine Own Way, Lord!
Adelaide A. Pollard & George C.Stebbins


Minggu Adven dan  Maknanya

Minggu ini kita memasuki minggu adven yang pertama. Ada empat minggu lamanya gereja dan umat kristen merayakan Adven. Di ujung perayaan Adven ada Natal, di mana gereja merayakan peristiwa kedatangan Allah dalam rupa manusia. Gereja selalu merayakan Adven dan Natal di akhir tahun. Itu sebabnya orang sering berpikir bahwa Adven adalah perayaan yang menandai akhir tahun gerejawi. Memang minggu-minggu Adven ditempatkan di bulan terakhir tahun yang sedang berjalan. Namun Adven justru merupakan awal dari perhitungan tahun gereja. Oleh sebab itu Adven sebenarnya adalah tahun barunya gereja. Kalau tahun baru yang sering kita rayakan di tanggal 1 Januari, itu adalah tahun baru umum, tahun baru menurut penanggalan kalender orang Romawi sedangkan gereja merayakan tahun barunya tepat di minggu-minggu Adventus.

Kehancuran Kerajaan Israel Bersatu

Di Minggu Adven yang pertama ini, kita diajak merenungkan perjalanan iman yang dialami oleh umat Israel dalam Yesaya 64:1-9. Namun untuk memahami situasi dan kondisi yang terjadi pada umat Israel pada saat itu, saya mengajak saudara untuk kembali mengingat permainan yang sering dimainkan anak-anak pada masanya, ular tangga. Cara memainkannya pun mudah. Kita hanya perlu menjalankan pion-pion kita sesuai angka yang muncul di batu angka. Sungguh menyenangkan ketika angka-angka yang muncul mengantarkan kita pada anak tangga, artinya kita naik tingkat. Tetapi sebaliknya, ketika kita sudah berada di puncak dan pion yang kita jalankan berhenti di ekor ular, maka dengan sangat menyesal kita harus turun lagi dan memulai lagi dari awal. Permainan ini sederhana tetapi sungguh menggambarkan kondisi bangsa Israel dalam Yesaya 64 ini.

Pertama-tama kita harus ingat bahwa di zaman itu bangsa Israel bukan lagi dalam bentuk kerajaan Israel Bersatu. Masa kerajaan Israel sudah lewat. Setelah kematian raja Salomo, kerajaan terpecah menjadi dua: Israel di Utara dan Yehuda di Selatan. Ketika kerajaan Israel pecah, umat semakin bergumul dengan kondisi moral dan kerohanian yang semakin merosot dan pada akhirnya, hancur. Israel dibuang.


Sederhananya, polanya seperti ini:

Kerja keras membangun - berada di puncak kejayaan - hancur. Dari umat pilihan menjadi umat buangan, dari kerajaan yang luar biasa, kini tinggal reruntuhan. Pola seperti ini rasanya tidak asing bagi kita, karena:


Pada dasarnya manusia Bergumul dengan Keberhasilan dan Kegagalan Hidup


Dari pekerjaan yang mapan, punya banyak uang, eh tiba-tiba di PHK/tidak ada pemasukan lagi.

Dari rencana pernikahan yang benar-benar dipersiapkan dengan baik, tiba-tiba dikhianati, putus.

Dari keluarga yang harmonis, tiba-tiba bercerai.

Dari pelayanan yang dibangun sedemikian rupa baiknya, tiba-tiba hancur, terpecah belah.

Dari perencanaan masa depan yang baik, tiba-tiba berantakan!

Itulah reruntuhannya.


Saat kondisi kehidupan kita sama seperti yang terjadi dalam kehidupan umat Israel dan yang kita pandangi hanya reruntuhan saja. Apa yang akan kita lakukan? Putus asa? Menatap puing-puing kehancuran?


Harapan akan Pemulihan


Umat Israel saat melihat kehancuran yang terjadi dalam hidup mereka, mereka tidak berdiam diri dalam keputusasaan yang berkepanjangan. Mereka tetap setia menanti janji Tuhan bahwa Tuhan akan memulihkan hidup mereka. Setidaknya ada 2 hal yang dilakukan oleh umat Israel dalam menantikan pertolongan Tuhan yang mungkin bisa memotivasi kita untuk tidak berdiam diri dalam keputusasaan.


Introspeksi Diri.

Kita bisa melihat bagaimana perasaan umat Israel yang dituangkan dalam setiap kata di ayat 5-7. Meskipun pada awalnya mereka menyalahkan Tuhan atas segala hal yang terjadi. Namun kemudian, mereka ada di titik dimana mereka sadar bahwa kehancurannya sebagai sebuah bangsa yang besar terjadi karena kesalahan mereka sendiri. 

Perubahan besar bisa terjadi dalam kehidupan kita ketika kita belajar untuk tidak menyalahkan orang lain atau situasi di luar kita.

Sayangnya, sedari kecil sebagian besar orang tua sudah menanamkan ajaran yang cukup keliru kepada anak-anak:
Ketika anak berlarian kemudian terbentur meja atau lantai dan menangis, orangtua akan datang bak pahlawan lalu menyalahkan meja atau lantai supaya si anak berhenti menangis. Sadar atau tidak didikan seperti itu membentuk karakter anak. Pada akhirnya ketika si anak dewasa dan menghadapi kegagalan demi kegagalan dalam hidup, ia tidak belajar untuk mengoreksi dirinya, mengintrospeksi dirinya melainkan menyalahkan orang lain atas kegagalan hidup yang ia alami.

Saya selingkuh itu bukan salah saya, itu salah istri saya: siapa suruh dia tidak melayani saya dengan baik?
Saya di PHK itu bukan salah saya, itu karena situasinya yang mengharuskan saya harus di PHK (Padahal jika kinerjanya baik, tidak mungkin di PHK, ia tetap bisa dipertahankan)
Studi saya berantakan, itu salah orangtua dan dosen saya.
Pelayanan Gereja terpecah-pecah, itu bukan salah saya, itu salah si A, B, dan C

Lebih mudah menyalahkan orang lain dibanding mengoreksi diri

Coba pikirkan!
Ketika kita melihat reruntuhan dan kita mulai menempatkan kesalahan pada orang lain di luar kita, apakah itu akan membuat situasi menjadi lebih baik? Apakah reruntuhan akan kembali menjadi bangunan yang utuh? Apakah kegagalan dan kejatuhan akan berubah menjadi keberhasilan? Tentu saja tidak.

Kekuatan untuk bangkit dan membangun kembali selalu dimulai dari penyadaran diri dan kemauan diri untuk introspeksi.

Seperti umat Israel, mereka sadar dan mau mengintrospeksi diri mereka di hadapan Tuhan. Perubahan selalu dimulai dari diri sendiri.

Mempercayakan Tuhan yang membentuk hidup.

Dalam Yesaya 64:8-9, setelah umat Israel akhirnya  mengakui bahwa kesalahan sebenarnya terletak pada diri mereka sendiri, mereka memutuskan untuk minta Tuhan yang membentuk hidup mereka. Proses pembentukan dari Tuhan itu tidak enak dan masing-masing orang prosesnya beda-beda. Kalau umat Israel ya, prosesnya mereka harus merasakan menjadi umat yang terbuang. Bagaimana dengan kita?

Ketika kita ada di situasi yang tidak mengenakan, segala sesuatu yang kita bangun berakhir berantakan. Mungkin itu bagian dari proses pembentukan Tuhan bagi kita. Tuhan membentuk kita bukan hanya dari hal-hal yang baik saja, kegagalan pun kadang bisa Tuhan pakai untuk membentuk kita.

Kalau saat ini atau nanti saudara ada di posisi ini, katakan pada Tuhan:

Tuhan, ini hidup saya, ini keluarga saya, ini masa depan saya.  Saya sudah pernah mencoba membangun semuanya dengan cara saya tetapi hancur dan berantakan. Mari Tuhan, bentuk kembali hidup saya menurut cara Tuhan meskipun itu dari puing-puing kegagalan. 

Seperti umat Israel, kita pun perlu menyadari bahwa hidup kita adalah tanah liat di tangan Tuhan. Dia yang seharusnya membentuk kehidupan kita dengan caranya.

Saudara.
Lilin yang dinyalakan dalam minggu Adven 1 biasanya disebut lilin harapan, lilin ini mengandung makna yang dalam bagi setiap kita yang bergumul dengan kegagalan hidup: masih ada harapan. Oleh sebab itu, biarlah kita terus menaruh harapan pada Tuhan, teruslah menanti pemulihan dari Tuhan dengan mengintrospeksi diri kita dan minta Tuhan bentuk hidup kita seturut kehendak Tuhan. 

Selamat menghayati minggu Adven yang pertama ini. Kiranya Roh Kudus menolong dan menguatkan kita.

Komentar

Postingan Populer